Sosial Media
0
News
    Home NEWS

    TNI Bersihkan Talut di Mattirotappareng: Cegah Banjir Dimulai dari Saluran Air yang Terawat

    3 min read


    PESANKU.CO.ID, WAJO - Talut—tanggul penahan air yang jadi garis pertahanan pertama dari ancaman banjir—sering terlupakan sampai air meluap. Di Kelurahan Mattirotappareng, Kecamatan Tempe, Senin (27/10/2025), talut yang penuh sampah dan rumput liar itu kembali dibersihkan. Bukan oleh petugas kebersihan, tapi oleh Koramil 1406-01/Tempe yang dipimpin Pelda Sidarman, bersama puluhan warga yang turun tangan langsung.

    Kegiatan karya bakti ini bukan sekadar aksi simbolis menjelang musim hujan. Ini adalah investasi pencegahan bencana: talut yang bersih berarti aliran air lancar, risiko genangan turun, dan permukiman warga aman dari banjir bandang.

    Talut adalah infrastruktur sederhana tapi vital. Fungsinya menahan tanah agar tidak longsor dan mengatur aliran air agar tidak meluap ke permukiman. Tapi karena letaknya di pinggir jalan atau sungai, talut sering jadi tempat pembuangan sampah sembarangan dan ditumbuhi rumput liar yang tidak terawat.

    Akibatnya? Saat hujan deras, air tidak bisa mengalir sempurna karena tersumbat sampah dan vegetasi. Genangan terjadi, tanah di sekitar talut melemah, dan dalam kasus ekstrem, talut bisa runtuh—mengancam rumah warga di bawahnya.

    "Kegiatan seperti ini penting dilakukan secara rutin, agar lingkungan tetap bersih dan aliran air tidak tersumbat. Selain itu, ini juga menjadi sarana memperkuat sinergi antara TNI dan masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungan," ujar Pelda Sidarman sambil mengawasi pembersihan.

    Yang menarik dari karya bakti ini adalah partisipasi aktif warga. Mereka tidak datang karena diwajibkan, tapi karena melihat langsung manfaatnya. Ketika TNI turun tangan membersihkan lingkungan mereka, warga merasa malu jika hanya menonton dari teras rumah.

    Masyarakat Mattirotappareng menyambut positif kegiatan ini. Bukan hanya karena lingkungan jadi bersih, tapi juga karena mereka merasa termotivasi untuk terus menjaga kebersihan di sekitar tempat tinggal. Ini adalah edukasi lingkungan yang paling efektif: bukan lewat ceramah atau spanduk, tapi lewat aksi nyata yang bisa dilihat dan dirasakan langsung.

    Gotong royong yang terjadi di talut Mattirotappareng menunjukkan bahwa nilai luhur ini belum mati. Yang sering hilang bukan semangatnya, tapi pemicu dan fasilitatornya. Ketika ada yang mengambil inisiatif—dalam hal ini TNI—warga dengan senang hati ikut berpartisipasi.

    Membersihkan talut sebelum musim hujan adalah contoh sempurna pendekatan preventif dalam manajemen bencana. Biayanya murah—hanya butuh tenaga dan alat sederhana seperti cangkul, sabit, dan karung sampah. Tapi dampaknya besar: mencegah banjir, menghemat biaya evakuasi dan rehabilitasi, dan menyelamatkan harta benda bahkan nyawa warga.

    Bandingkan dengan pendekatan reaktif: menunggu banjir terjadi, baru bergerak mengevakuasi warga, membagikan bantuan, dan memperbaiki kerusakan. Biayanya bisa puluhan hingga ratusan kali lipat lebih mahal, belum lagi trauma psikologis dan kerugian ekonomi yang ditanggung masyarakat.

    Karya bakti seperti yang dilakukan Koramil Tempe adalah model manajemen bencana berbasis komunitas yang seharusnya direplikasi di seluruh Indonesia. Bukan menunggu program besar dari pemerintah pusat, tapi mengambil inisiatif dari tingkat kelurahan dengan sumber daya yang ada.

    Koramil 1406-01/Tempe terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung program pemerintah daerah di bidang kebersihan dan pelestarian lingkungan, sekaligus menumbuhkan kembali semangat gotong royong di tengah masyarakat.

    Keterlibatan TNI dalam kegiatan lingkungan seperti ini sering menuai pertanyaan: bukankah ini tugas Dinas Lingkungan Hidup atau Dinas Pekerjaan Umum? Mengapa TNI yang harus turun tangan?

    Faktanya, banyak pemerintah daerah kekurangan anggaran, tenaga, dan koordinasi untuk mengelola infrastruktur lingkungan secara rutin. TNI, dengan struktur komando yang solid dan kehadiran di tingkat kecamatan lewat Koramil, punya kapasitas untuk mengisi kekosongan ini—setidaknya sebagai katalis yang memicu partisipasi masyarakat.

    Tapi ini tidak boleh jadi norma baru. Peran TNI seharusnya sebagai fasilitator dan motivator, bukan operator tetap. Tanggung jawab utama tetap ada di pemerintah daerah dan masyarakat sendiri.

    Keberhasilan karya bakti tidak diukur dari berapa ton sampah yang diangkat hari ini, tapi dari seberapa bersih talut itu tiga bulan kemudian. Keberlanjutan adalah tantangan terbesar dari semua program berbasis komunitas.

    Agar efektif, pembersihan talut butuh jadwal rutin—misalnya setiap dua bulan atau menjelang musim hujan. Butuh juga pembagian tanggung jawab: Koramil sebagai koordinator, pemerintah daerah menyediakan alat dan transportasi sampah, dan warga sebagai pelaksana utama.

    Yang lebih penting lagi: harus ada perubahan perilaku. Percuma membersihkan talut jika besoknya warga kembali buang sampah ke sana. Dibutuhkan edukasi berkelanjutan, penegakan aturan, dan penyediaan infrastruktur pengelolaan sampah yang memadai.

    Apa yang dilakukan Pelda Sidarman dan warga Mattirotappareng adalah contoh nyata bahwa pencegahan bencana dimulai dari hal kecil: membersihkan talut di kampung sendiri. Bukan menunggu program besar dari pemerintah pusat, tapi mengambil inisiatif dari bawah dengan sumber daya yang ada.(Wan)
    Komentar
    Additional JS