Sosial Media
0
News
    Home NEWS

    WALHI Kalsel Peringatkan Krisis Lingkungan dan Demokrasi, Beban Izin Industri Capai 51 Persen Wilayah

    2 min read


    PESANKU.CO.ID, BANJARBARU — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan menyampaikan peringatan keras terhadap memburuknya kondisi lingkungan dan demokrasi di Indonesia, khususnya di Kalimantan Selatan. Dalam Catatan Akhir Tahun 2025, WALHI menilai situasi telah memasuki fase krisis multidimensi akibat kebijakan yang dinilai semakin sentralistik dan berpihak pada kepentingan modal.

    Direktur WALHI Kalsel Raden Rafiq S.F.W., didampingi Jefry Raharja dari Divisi Advokasi, Kampanye, Pendidikan dan Pengkaderan serta Gusti Nordin Iman dari Dewan Daerah WALHI Kalsel, menegaskan bahwa sepanjang 2025 ruang gerak masyarakat sipil terus menyempit. Tekanan tersebut, menurutnya, berjalan beriringan dengan percepatan degradasi lingkungan dan melemahnya perlindungan hak asasi manusia.

    “Degradasi lingkungan yang masif tidak berdiri sendiri. Ia berkorelasi langsung dengan kemunduran demokrasi dan meningkatnya pelanggaran HAM,” ujar Raden Rafiq di Banjarbaru, Senin (22/12/2025).

    WALHI menyoroti arah kebijakan nasional di bawah rezim Prabowo–Gibran yang dinilai berpotensi melanggengkan dominasi modal atas sumber daya alam. Salah satu indikatornya adalah rencana pembukaan kembali proyek pangan dan energi berbasis hutan seluas 20 juta hektare yang disebut menyasar hutan lindung, hutan produksi, wilayah Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), hingga kawasan Perhutanan Sosial.

    Kondisi ini dinilai sangat mengancam Kalimantan Selatan. Data WALHI menunjukkan sisa hutan primer di Kalsel hanya 49.958 hektare dari total luas wilayah sekitar 3,7 juta hektare. Angka tersebut jauh tertinggal dibanding luas perizinan industri ekstraktif yang membebani wilayah, mulai dari PBPH seluas 722.895 hektare, WIUP pertambangan 559.080 hektare, hingga HGU perkebunan sawit 645.612 hektare.

    “Jika digabungkan, beban izin industri mencapai 51,57 persen wilayah Kalimantan Selatan. Ini bukan lagi peringatan dini, melainkan proyeksi kiamat ekologis,” tegas Rafiq.

    Tekanan investasi juga disebut berdampak langsung pada kehidupan warga. WALHI menyoroti aktivitas PT Merge Mining Industri (MMI) di Desa Rantau Bakula, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Banjar, yang diduga memicu pencemaran air, kebisingan, debu, serta keretakan rumah. Sekitar 28 kepala keluarga disebut merasakan dampak operasi tambang bawah tanah tersebut.

    Di sisi lain, WALHI mencatat masih maraknya kriminalisasi dan kekerasan terhadap warga yang mempertahankan ruang hidupnya. Kasus petani Sumardi (64) yang dikriminalisasi saat mempertahankan kebun, serta dugaan penganiayaan terhadap Sugiarto (30) yang merupakan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), menjadi gambaran lemahnya perlindungan negara terhadap kelompok rentan.

    Dalam aspek penegakan hukum, WALHI Kalsel bersama 16 Eksekutif Daerah WALHI lainnya melaporkan empat perusahaan—PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM), PT Palmina Utama, PT Putra Bangun Bersama (Julong Group), dan PT Merge Mining Industri—ke Kejaksaan Agung RI atas dugaan korupsi sumber daya alam dan konflik agraria.

    “Ini adalah bentuk penagihan komitmen negara terhadap kepastian hukum serta hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” kata Rafiq.

    WALHI juga menyoroti meningkatnya intimidasi terhadap pejuang lingkungan, mulai dari dugaan doxing, ancaman pembunuhan, hingga kriminalisasi. Dalam catatan tersebut, WALHI mengenang pejuang lingkungan yang gugur seperti Sabriansyah di Pengaron, Jurkani di Angsana, dan Arbaini di Nateh, sebagai simbol perjuangan keadilan ekologis di Kalimantan Selatan.

    Pada level kebijakan, WALHI mengkritik Perpres Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan dan pembentukan Satgas PKH yang dinilai rawan menyingkirkan masyarakat adat serta cenderung tebang pilih terhadap korporasi besar. Isu transisi energi juga disorot, khususnya praktik co-firing PLTU dengan pellet kayu yang disebut sebagai solusi palsu karena justru mendorong deforestasi dan berdampak buruk bagi kesehatan warga. Riset WALHI di sekitar PLTU Tabalong dan Tanah Laut mencatat ISPA sebagai penyakit tertinggi yang diderita masyarakat sekitar.

    Tak kalah penting, WALHI menolak konsep konservasi eksklusif seperti usulan Taman Nasional Meratus yang dinilai berpotensi menghilangkan akses hidup masyarakat adat Meratus. Model konservasi tersebut disebut sebagai “kolonialisme gaya baru” yang mengabaikan kearifan lokal.

    Menutup Catatan Akhir Tahun 2025, WALHI Kalsel menegaskan bahwa bencana ekologis bukanlah takdir alam, melainkan hasil dari kegagalan tata kelola lingkungan dan keberpihakan kebijakan.

    “Masa depan Kalimantan Selatan ditentukan oleh keberanian kita hari ini untuk melawan kebijakan yang merusak lingkungan dan menyingkirkan rakyat,” pungkas Raden Rafiq.(Wahyudi)
    Komentar
    Additional JS