Menteri Nusron: Santri Harus Jadi Agen Kesejahteraan, Bukan Sekadar Penceramah
2 min read
PESANKU.CO.ID, BEKASI - Di tengah hiruk-pikuk Hari Santri Nasional 2025, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nusron Wahid melemparkan tantangan besar kepada jutaan santri di Indonesia: jangan hanya pandai mengaji, tapi kuasai juga teknologi, ekonomi, dan kepemimpinan untuk memakmurkan bangsa.
Pesan tegas itu disampaikan saat menjadi inspektur upacara di Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur'an wal Hadits, Kota Bekasi, Rabu (22/10/2025). Bagi Menteri Nusron, era perjuangan santri mengusir penjajah sudah lewat. Kini, medan jihad mereka ada di laboratorium, ruang rapat, dan arena pembangunan nasional.
"Santri harus mempunyai tekad mampu menyejahterakan rakyat Indonesia. Tidak cukup hanya mencerdaskan, tapi juga memakmurkan bangsa," tegas Nusron di hadapan ratusan santri yang berbaris rapi.
Menteri Nusron mengingatkan bahwa sejarah mencatat peran vital santri dalam merebut kemerdekaan. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dikeluarkan para kiai menjadi pemantik perlawanan heroik Arek-Arek Suroboyo pada 10 November 1945. Dua peristiwa itu, menurutnya, adalah satu kesatuan tak terpisahkan.
"Tidak akan ada perlawanan di Surabaya tanpa jihad para santri dan kiai. Hari Santri dan Hari Pahlawan adalah dua sisi mata uang yang sama," ujarnya.
Namun konteks perjuangan kini berubah total. Jika dulu santri berjuang dengan bambu runcing, kini mereka harus bersenjatakan inovasi, riset, dan kebijakan yang membawa dampak nyata. "Ketika kontribusi santri sudah diakui di masa lalu, tantangan sekarang adalah: bagaimana kita mengisi 80 tahun Indonesia merdeka? Santri tidak boleh disingkirkan dari panggung Indonesia," tegasnya.
Mengutip pandangan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, Nusron memaparkan tiga pilar yang harus dikuasai santri modern: ilmal ulama (keilmuan agama), hikmat al-hukama (kebijaksanaan para ahli), dan wasiyasatal muluk (nasihat para pemimpin).
Artinya, santri masa kini tidak boleh berhenti di kitab kuning. Mereka harus sekaligus menjadi ulama yang paham agama, teknokrat yang menguasai kedokteran, teknologi, keuangan, energi, bahkan negarawan yang mampu memimpin dengan kepala dingin tanpa dendam.
"Santri harus siap jadi dokter, insinyur, ekonom, ahli energi. Sekaligus jadi pemimpin yang berjiwa besar dan mempersatukan bangsa," papar Nusron dengan penuh harap.
Di era digital, Menteri Nusron juga memberikan peringatan keras: jangan sampai santri terjebak dalam pemahaman agama yang dangkal karena hanya belajar dari media sosial. Ia menekankan pentingnya sanad atau rantai keilmuan yang jelas dalam mempelajari agama.
"Belajar agama harus talaki dan bersanad, tidak cukup dari medsos. Tanpa sanad, orang bisa tersesat dan mengaku-ngaku berpendapat atas nama agama," tegasnya.
Pesan ini menjadi reminder penting di tengah maraknya ustaz dadakan dan narasi keagamaan yang viral tanpa landasan keilmuan yang kuat. Santri, dengan tradisi keilmuan yang kuat, diharapkan bisa menjadi filter sekaligus penjaga ortodoksi pemahaman agama yang moderat.
Upacara yang dihadiri Pengasuh Ponpes Mahasina Abah Abu Bakar Rahziz, Tenaga Ahli Bidang Komunikasi Publik Rahmat Sahid, serta Kepala Kantor Pertanahan Kota Bekasi Heri Purwanto ini ditutup dengan harapan besar.
"Semoga eksistensi santri di Indonesia makin nyata, dan kontribusinya makin konkret untuk membangun kemajuan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat Indonesia," pungkas Menteri Nusron.
Pesan menteri ini bukan sekadar retorika seremonial. Ini adalah ajakan nyata bagi santri untuk keluar dari zona nyaman, bertransformasi, dan membuktikan bahwa mereka bukan hanya ahli ibadah, tapi juga agen perubahan yang mampu membawa Indonesia ke level yang lebih tinggi.(Wahyudi)